Jumat, 17 Januari 2014


Latar Belakang

Krisis multi dimensi yang menimpa Bangsa Indonesia dewasa ini; sesungguhnya merupakan cermin dari kegagalan bangsa ini membangun manusia Indonesia yang seutuhnya. Problema tersebut tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia.
Selama ini sistem pendidikan nasional kita cenderung bersifat sekular. Dikotomi pendidikan telah lama berlangsung dan membentuk pola pikir masyarakat secara luas.
Pembagian pendidikan umum dan pendidikan agama, ilmu umum dan ilmu agama secara tidak langsung telah membentuk sikap serta perilaku masyarakat. Maka tidak mengherankan apabila output pendidikan menghasilkan manusia yang berpikir dan bertindak sekular pula dalam kehidupannya. Di satu sisi menghasilkan orang yang menguasai IPTEK tapi tidak mengenal agama, dan di sisi lain menghasilkan orang-orang shaleh tetapi tidak menguasai IPTEK.
Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam belum mampu menunjukkan keunggulannya dalam menghasilkan manusia mukmin yang paripuma, yang mampu menempatkan dirinya sebagai Abdullah di hadapan Rabbnya dan mampu berperan sebagai khatifatullah dalam kehidupan masyarakatnya.
Lembaga pendidikan Islam dan pesantren, disadari juga mengalami keterlambatan dalam menyesuaikan diri dan memenuhi tantangan peradaban. Bahkan masih banyak lembaga pendidikan Islam yang masih dikelola secara tradisional. Akibatnya pesantren dan lembaga pendidikan Islam mulai ditinggalkan oleh masyarakat.
Kenyataan di atas, menyadarkan kepada para perintis Hidayatullah untuk menghadirkan sebuah lembaga pendidikan yang integral (tauhid) yang merupakan ciri khas Islam, dengan pengelolaan yang profesional serta modern. Dengan harapan mampu melahirkan insan kamil. Yaitu manusia yang mampu menempatkan diri sebagai Abdullah dan memerankan diri sebagai khalifah Allah dalam kehidupan.
Sejarah Berdirinya
Pesantren Hidayatullah Lampung Selatan merupakan cabang dari Pasantren Hidayatullah Balikpapan Kalimantan Timur, yang dirintis oleh Ust. KH, Abdullah Said.
Sebagai cabang, Pesantren Hidayatuilah Lampung Selatan secara resmi mendirikan SMP Integran Lukman Al Hakim pada 10 Januari2014. Diawali oleh diskusi-diskusi yang dilakukan oleh beberapa dai yang bertahan dan berjuang di lampung selatan diantaranya Ust Syaharuddin Yusuf, S.Pd.I Ust. Nur Kholis, S.Pd, Ust Sarjio, S.Pd, Ust Roli Sandi, Ust Supriadi, Ust Tentrem, Ust Fastabiudin, Harizon dan Ummi Romdiah.
Sekolah Integral
Sesungguhnya dewasa ini di tengah-tengah masyarakat sedang berlangsung berbagai krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan berbagai bentuk penyakit sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Di sisi lain, sekalipun pemerintahan baru telah terbentuk, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Mengapa semua ini terjadi?
Akar permasalahan mendasar dari berbagai krisis yang tengah kita hadapi adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik dan paradigma pendidikan yang materialistik serta sisi kehidupan sekuler lainnya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya hanyalah buah atau merupakan problema-problema cabang yang muncul dari diterapkannya sistem kehidupan sekuleristik tadi.
Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Depag dan Depdikbud. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Dari seluruh permasalahan yang ada dalam pendidikan, yang pertama harus ditata kembali adalah adalah permasalahan yang muncul akibat konsepsi pendidikan secara paradigmatik. Tataran paradigamatik ini yang akan memberi visi, misi dan orientasi proses pendidkan yang dilaksanakan, karena itu kekeliruan paradigmatik pendidikan akibatnya akan sangat fatal. Pengaruh yang ditimbulkan bukan hanya terhadap individu peserta didik, tetapi juga teradap sistem kehidupan yang dibangun oleh peserta didik tersebut.
Secara paradigmatik, pendidikan harus ditata pada asas tauhid. Suatu pandangan kehidupan, pemahaman, penghayatan serta implentasi dalam pola sikap, ucap dan tindakan (iman), atas realitas kehidupan, serta entitas dari realitas tersebut akan adanya penciptaan, ketergantungan, pengaruh, tujuan dan rujukan serta keberadaan pencipta. Dalam bahasa sehari-hari tauhid sering diartikan meng-Esa-kan Tuhan.
Asas tauhid ini merupakan landasan, jiwa dan ortientasi pendidikan. Karena pendidikan itu objeknya adalah manusia, maka presepsi manusia juga harus berdasarkan tauhid, bukan atas presepsi manusia itu sendiri. Inilah otortas Tuhan sebagi bagian nilai dari tauhid. Atas dasar itu pila kita memahami bahwa manusia dikategorisasi dari status dan fungsinya, baik sebagai individu, atau sebagai bagian dari masyarakatnya, lingkunganya dan alamnya serta ditunjau berdasarkan instrumentasi yang dimilikinya.
Manusia memiliki status dan fungsi hidup sebagi abdullah dan khaliffatulah. Dalam rangka mengemban amanat tersebut, maka diperlukan kemampuan berupa tumbuh dan berkembangnya aspek-aspek instrumentasi kemampuan manusia secara integral dan seimbang, yaitu aspek aqliyah, ruhiyah dan jismiyah. Dengan demikian kemampuan yang dimiliki manusia dengan tumbuh dan berkembangnya kemampuan intrumentasinya, adalah dalam rangka memerankan secara fungsional dan integratif antara sebagai hamba (‘abid) yang berdimensi sebagai pribadi dan sebagai khalifah yang berdimensi sosial dan lingkungan alam.
Aspek-aspek tersebut satu sama lain tidak berdiri sendiri dan saling berhubungan pengaruh secara timbal balik. Kemudian integralitas dan keseimbangan aspek-aspek tersebut yang akan membentuk kepribadian, dan tingkat kemampuan aspek-aspek tersebut yang menentukan tingkat peran dan fungsionalnya baik secara pribadi, terhadap lingkungan sosial dan lingkungan alamnya.